Angkasa yang penuh kesejukan melambaikan sayap-sayap kehidupan.
Sayap-sayap yang menginginkan kebebasan menghela setiap makna denyutan
nadi. Semilir angin terbang menyapa setiap yang tegak. Dedaunan tua
menari-nari mendekat damainya bumi. Cahaya putih dari sisi timur
menghangatkan setiap pengisi dunia. Di sisi lain terlihat silauan
pandang berkaca-kaca layaknya langit yang kan menurunkan hujan deras.
Wajah sayu dengan senyuman tertahan menahan pilu perasaannya. Dengan
badan tersender lemah di sebuah tiang biru di samping kanan tempat duduk
orang-orang yang menunggu kedatangan bus tujuannya dengan keramaian bus
yang berhenti sejenak menunggu penumpang. Kedua tangannya memangku
jajanan ringan di atas pahanya menampilkan ketidak berdayaannya. Kedua
kakinya sejajar seakan tak mau bangkit. Gadis cantik sawo matang dengan
ikatan rambut pirang lurus panjang dengan baju sederhana lengan pendek
berwarna biru dan celana jeans ciutbry abu-abu jaman dahulunya itu duduk
termenung sendiri merenungi kehidupannya sambil menuggu kedatangan bus
yang yang belum datang.
“Purwokerto-Purwokerto, Kebumen,
Gombong..., ayo-ayo Bu, Pak, Mas...“, teriak para kondektur dan calo bus
Semarang-Purwokerto yang berusaha menarik perhatian para penumpang arah
Purwokerto itu.
Suara itu membuat Siti kaget dan tersadar dari
lamunannya. Ia segera bergegas lari dengan jajanannya menuju bus
tersebut dan berebut cepat dengan teman-teman saingannya.
“Bu...
Tahu Bu...Kacang rebus, Lumpia, Arem-arem....Pak, Mas, Lumpia,
Arem-Arem, Kacang rebus, Tahu...enak Pak, Mas, beneran deh, saya jamin
Bapak dan Mas tidak menyesal merasakan jajanan buatan Ibu saya...cukup
seribu rupiah pak....”, rayu Siti dengan semangat sambil menyembunyikan
hatinya agar jualannya hari ini laku banyak.
Setiap hari minggu
Siti selalu menghabiskan waktunya untuk membantu kedua orang tuanya
dengan berjualan jajanan ringan di Terminal Bus Purworejo. Kehidupannya
yang sederhana bahkan sangat kurang mampu ini tak membuat semangat hidup
nya menurun begitu saja. Ibu nya yang sudah berumur 47 tahun itu hanya
bisa menghabiskan waktunya di rumah mengurusi rumah tangganya dan
membuat Arem-arem, Lumpia, Tahu dan kacang rebus untuk di jual. Bapaknya
yang sudah berumur selisih 2 tahun lebih tua dengan ibunya pun juga
hanya bisa berjualan, menjual makanan yang di buat ibunya.
“Bapak
dapat berapa?”, tanya Siti kepada bapaknya yang juga ikut berjulan
setelah seharian mereka merayu para penumpang dan penghuni terminal itu.
“Bapak Cuma dapet tiga puluh ribu nak...kamu dapat berapa?”, jawab ayahnya dengan nada lemah dan sedih.
“Siti
dapat empat puluh lima ribu pak... nggak papa pak, kita syukuri saja.
Mungkin memang rejeki kita hari ini segini. Siapa tahu Allah besok
ngasih lebih ke kita. Tapi ini lumayan banyak lho pak, total pendapatan
kita hari ini tujuh puluh lima ribu, lebih dari biasanya....”, Seru Siti
dengan semangat meskipun sebenarnya dalam hatinya tak tega melihat
wajah bapaknya yang bersedih itu.
“Tapi kita nggak balik modal
lagi nak....!! Besok kita mau jualan lagi dengan uang dari mana? Uang
bapak dah abis..mau makan aja kita susah...”
“Insya Allah ada
pak...tujuh puluh lima ribu masih bisa buat kita jualan lagi. Yang dua
puluh lima buat makan kita, yang lainnya buat modal kita lagi..ya sudah
pak, ayo kita pulang saja. Bapak juga pasti capek kan?”, Bujuk Siti pada
bapaknya dan mencoba menenangkannya.
Begitulah nasib mereka.
Setiap hari pak Ramli menghabiskan waktu di terminal dan Siti yang
senantiasa menggunakan waktu liburannya dengan membantu menghabiskan
jajanan yang dibuat ibunya bersama bapaknya hanyalah untuk menghidupi
keluarganya. Penghasilan mereka benar-benar tak seberapa dibandingkan
dengan pengeluarannya. Namun semuanya tak membuat mereka putus asa untuk
terus berusaha mencukupi kebutuhan hidup mereka dan pendidikan Siti.
Siti
memang anak yang rajin, pintar, dewasa dan baik hati. Di usianya yang
masih remaja ia sudah bisa berpikir bagaimana ia bisa menjalani hidup
tanpa merepotkan ke dua orang tuanya. Setiap hari ia rajin belajar dan
membantu orang tuanya. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya, sebenarnya
ada seorang adik yang bernama Sarah yang saat ini sudah berumur 10tahun,
namun kini ia hanya tinggal nama karena penyakit demam berdarah yang
menyerangnya dua tahun yang lalu. Rumahnya masih beralaskan tanah dan
berdindingkan anyaman bambu warna putih terletak di dekat terminal
tempat mereka bekerja, di pinggir kota yang tak bisa membuat mereka
hidup sejahtera.
Hari senin pun tiba. Seperti biasa Siti
melangkahkan kakinya menuju sekolah yang bernamakan SMA N 5. Awalnya
Siti memang tidak suka dengan SMA nya, dari dulu ia mendambakan sebuah
sekolahan yang berkualitas baik dan ternama. SMA N 1 adalah sekolahan
yang ia idam-idamkan. Kualitas otak siti ini sesungguhnya tidak kalah
dengan siswa-siswa SMA N 1. Sebenarnya ia mampu memasuki sekolahan
tersebut namun lagi-lagi uanglah yang menghambatnya.
Kini seiring
berjalannya waktu, keadaan dan kebaikan bapak ibu gurunya membuatnya
bahagia dan nyaman. Dari SMA ini lah Siti merasakan kehidupannya tidak
akan pernah sia-sia. Kejuaraan demi kejuaraan ia dapatkan. Sekolah
gratis karena kepandaiannya dan banyaknya uang hasil kejuaraan dan
partisipasinya dalam mewakili sekolah dalam acara luar membuatnya
semakin cinta dengan sekolahannya. Ya, dari semua ini lah siti dapat
menempuh pendidikan dan sedikit membantu mencukupi kebutuhan
keluarganya. Kehebatannya ini membuatnya menjadi bintang di sekolahnya
dan membuatnya lebih ikhlas merelakan dirinya melepas SMA N 1.
Suasana
hangat dengan iringan kicau burung yang saling bertegur sapa,
menghembus udara yang menghantarkan hari menuju siang, menapakkan kedua
kakinya di atas ranting-ranting kecil berteduhkan hijaunya daun di
tengah-tengah antara ruang kelas XII IPS dan ruang Guru, terlihat
kerumunan hijau yang saling berebut di depan papan pengumuman dengan
gemuruh sahut-menyahut membuat suasana gaduh dan penuh ketegangan.
“Selamat
ya Sit cuma kamu yang lulus dari kelas kita..!”, Ucap Nisa sahabat Siti
setelah melihat pengumuman hasil Try Out pertama mereka.
“Makasih
Nis...tetap semangat Nis... masih ada banyak waktu buat bangkit ..!!!!
Okey !!!” Jawab Nisa dengan memberikan semangat kepada sahabatnya dan
merangkulnya kembali berjalan menuju ruang kelas yang tak jauh dari
papan tadi.
“Iya Sit...kamu kok pinter banget si... lagi-lagi yang
jeblok nilai fisika ma matematika. Takut banget aku......” kata Nisa
dengan penuh kekhawatiran.
“Tenang aja Nis, kita pasti lulus..!
Aku yakin banget..Meskipun nilai ku juga mepet tapi kan kita masih punya
waktu yang lumayan buat belajar. Kita belajar bareng Nis...!! Oh ya
kamu mau masuk kuliah dimana?”
“Nggak tau Sit, kayanya aku bakalan
brenti satu tahun dulu. Orang tua ku nggak bisa nguliahin aku tahun ini
katanya. Mungkin tahun depan baru bisa kuliah, dan sementara waktu aku
kursus dulu.” Terang Nisa yang sebenarnya di dalam hatinya menginginkan
kuliah tahun ini.
“Kursus apa Nis?”, tanya Siti lagi.
“Aku suruh kursus menjahit. Kalau kamu sendiri gimana Sit? Mau kuliah dimana?”
“Aku....nggak
tau Nis, aku pingin jadi seorang perawat. Mungkin aku kuliah di akper
Purworejo aja yang lebih deket..” jawab Siti dengan penuh kebimbangan
namun meyakinkan.
Akhir kelas XII SMA benar-benar membuatnya
pusing. Masa depan yang cerah selalu menjadi mimpi gadis ini. Ia
bukanlah gadis yang mudah menyerah begitu saja. Selagi ada kesempatan ia
selalu berusaha untuk melewatinya.
Hatinya benar-benar bagai
teriris-iris setiap kali ia melihat teman-temannya mendaftar untuk
mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Mereka dengan mudah
mengeluarkan uangnya untuk mengikuti pendaftaran dari universitas satu
dan universitas lainnya. Ada yang UGM, UNDIP, UNY, UNNES dan lain
sebagainya. Sedangkan ia sampai detik ini tak bisa berbuat apa-apa.
Memang
ada dibenaknya untuk bisa masuk ke universitas seperti mereka. Ia
percaya ia dapat memilikinya dengan mendaftar melalui jalur beasiswa.
Akan tetapi ia tidak bisa yakin bahwa hal itu akan terjadi dengan mudah.
Semuanya pasti juga memerlukan uang yang tidak sedikit untuk
mencobanya.
Setiap hari Siti menyisihkan waktunya untuk dapat
merenungi kehidupannya, masa depannya, dan kebahagiaan kedua orang
tuanya. Ia tak mau pendidikannya hanya berakhir hingga SMA saja. Dalam
otaknya pendidikan SMA belum berarti apa-apa untuk bekerja. Dengan
keadaan ekonomi yang minim dan tidak adanya dukungan dari kedua
orangtuanya ini membuatnya tidak bisa berpikir luas untuk menempuh masa
depan cerahnya.
Ia benar-benar menginginkan kuliah, agar ia bisa
menjadi perawat yang merupakan cita-citanya sejak kecil. Namun setiap
bertanya dengan kedua orang tuanya, membuatnya semakin pesimis akan
mendapatkannya. Uang untuk mendaftar pun tak ada, bagaimana ia bisa
memasukinya?
“Pak, Buk, Siti pingin kuliah.. Boleh kan pak?”, Tanya siti dengan penuh harapan.
“Kuliah,
uang dari mana to nak…buat makan aja kita susah. Tahun depan saja kalau
mau kuliah, mungkin tahun depan kita sudah bisa lebih baik.” Jawab pak
Ramli berharap Siti mau mengerti.
“Tahun depan? Tapi pak kalau
tahun depan Siti bakalan susah dapatin Beasiswa dari awal masuk, karena
beasiswa itu kebanyakan diberikan untuk orang-orang yang baru lulus,
meskipun ada tapi perlu biaya besar untuk masuk juga. Kalau Siti nggak
kuliah Siti mau jadi apa pak? Tamatan SMA paling cuma bisa kerja di toko
atau pabrik yang sistemnya sistem kontrak. Kalau sudah tua Siti nggak
bisa kerja lagi to pak?” Tegas Siti dengan berusaha meyakinkan
orangtuanya agar menyetujuinya.
“Nak, ibu mu aja banyak hutang,
kamu tahu sendirikan penghasilan kita saat ini berkurang, Kalau uangnya
buat bantu kuliah kita nggak bisa jualan lagi.nggak ada modal. Lagi pula
apa sepuluh ribu itu cukup buat biaya kuliah mu nanti?” Terang Bu Ramli
kepada anaknya.
“Bu, pak Siti nggak akan nyusahin bapak sama ibu.
Siti cuma minta restu dari bapak, ibu. Masalah biaya kuliah, Siti yakin
pasti Allah kasih jalan keluarnya nanti. Lagi pula Siti mau kuliah
dengan beasiswa, Insya Allah beasiswa itu cukup untuk kuliah Siti.
Makanya bapak sama ibu doain Siti biar Siti diterima dengan beasiswa.”
Siti
tak akan pernah menyerah untuk merayu kedua orang tuanya agar
mengijinkannya untuk mencoba mendaftar kuliah. Meski sulit namun pada
akhirnya mereka mau mengijinkannya namun jika bergelut dengan uang lagi
mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Tantangan yang sangat sulit.
Kuliah yang semua orang tahu bahwa akan mengeluarkan banyak uang ini
menjadi beban dirinya seorang. Orang tuanya benar-benar angkat tangan
mengenai uang untuk perjuangan nya, membuat sekolah swasta yang
sebelumnya ia ceritakan pada Nisa karena jarak rumah yang lebih dekat
tak bisa lagi ia andalkan. Namun tekat Siti tak akan pernah berubah. Ia
selalu mencari informasi dengan menjelajahi web berbagai universitas dan
mencari info ke ruang BK (Bimbingan Konseling) berkenaan dengan kuliah
yang ingin ia capai..
Keesokannya, terlihat sosok gadis dengan
rambut terurai yang menyentuh hijau seragamnya duduk di ruangan yang
penuh dengan puluhan komputer. Di depannya terdapat tulisan-tulisan
mengenai pendaftaran masuk perguruan tinggi tepatnya ITS yang didalamnya
terdapat Beasiswa Bidik Misi. Ini peluang yang besar pikirnya. Dengan
beasiswa lima juta setiap semester akan sangat membantunya dalam
menyelesaikan kuliahnya jika ITS berpihak padanya. Namun di sisi lain
perasaan dilema pun ikut serta dalam pikirannya. Jarak yang lumayan jauh
Purworejo-Surabaya itu membuatnya tidak yakin akan melakukannya.
“Sit kamu di panggil bu Retno tu di ruang BK”, Panggil Nisa yang menyela kesibukannya di Laboratorium komputer itu.
Segera
saja Siti melepaskan lamunannya mengarahkan wajahnya pada sahabatnya
dan menghentikan tangannya yang sedang sibuk menarikan mouse tanpa
sadar, “Ada apa Nis?”
“Nggak tahu tuh, Beliau cuma bilang kamu suruh keruangannya sekarang.” Jelas Nisa yang juga tak tahu apa-apa.
Siti
segera beranjak dari bangku nya meninggalkan ruangan itu. Langkahnya
dengan cepat menghantarkannya ke depan pintu ruang BK dan ketukan pintu
segera terdengar membuatnya saling bertegur sapa.
“Masuk lah…” Begitulah kata pertama kali yang terucap bu Retno setelah ia berikan senyuman ramah dan pandangan yang menyejukkan.
“Terimaksih
buk…” Perlahan-lahan ia masuki ruangan itu dengan penuh ketegangan
seakan kesalahan telah diperbuatnya dan meminta pertanggungjawabannya.
“Maaf ada apa ya bu……”, Tanya siti yang diliputi dengan penasaran.
“Silahkan
duduk, begini ibu mau menawarkan kamu, apa kamu ada minat masuk UGM? Di
sini ada jalur masuk bibit unggul bagi yang tidak mampu. Disini tidak
dipungut biaya pendaftaran dan kuliah. Ibu tahu kamu sangat berprestasi,
sangat disayangkan jika kamu berhenti nanti. Ini bisa kamu lihat
brosure nya.” Terang bu Retno dengan menyodorkan kertas brosure berwarna
biru yang berisikan tentang berbagai jalur masuk UGM.
“ Yang
benar bu? Alhamdulillah…saya pikir ada kesalahan yang saya perbuat dan
saya tidak tahu. Em…bagaimana ya Bu..?” sejenak ia berpikir, “Baiklah Bu
saya akan mencobanya.”
Akhirnya kesempatan hadir padanya. Setelah
ia berpikir, kembali merenungi apa yang harus ia lakukan, segera ia
membicarakan kepada kedua orang tuanya untuk merundingkan apa yang telah
ia bicarakan bersama guru BK nya siang tadi. Dengan penjelesan dan
rayuannya akhirnya kedua orangtuanya menyetujui dan membantunya dalam
mempersiapkan persyaratan seleksinya.
Hari demi hari silih
berganti. Waktu terus berjalan mengiringi langkah demi langkah meraih
mimpi seorang gadis yang terus menyalakan api disetiap nafasnya. Satu
bulan lalu ia kirimkan beberapa berkas sesuai dengan ketentuan untuk
memasuki UGM dengan jurusan Matematika yang merupakan keinginan ke
duanya setelah perawat. Kini saat nya ia membuka sebuah website yang
akan memberikan jawaban apakah ia berhasil.
Hal yang sangat
mengejutkan, satu persatu matanya yang indah melewati nama demi nama.
Hari yang begitu cerah dipenuhi awan putih yang berjalan ke barat seakan
mencoba menghibur dan meneduhkan hatinya yang mendadak mendung dan
mengalirkan hujan dicelah-celah mata indahnya menyentuh pipi yang begitu
lembut. Nihil..namanya sama sekali tak tertulis dalam ucapan selamat di
terima di UGM tersebut. Hatinya semakin teriris melihat dua nama teman
kelasnya tertampil di layar itu.
Tiga hari ia merasa bukan
dirinya. Mengapa ia yang lebih unggul dari teman-temannya bisa
terkalahkan begitu saja. Serasa tidak adil jika ia yang lebih
membutuhkan peluang itu namun tak bisa seperti mereka. Setiap hari ia
hanya bisa meneteskan kesedihannya di setiap perenungannya.
Desahan
angin senantiasa berbisik, membangkitkan dirinya dari keterpurukan yang
tiada arti. Hari-hari akhir pekannya di sebuah pemberhentian bus terus
ia lewati. Semakin dekat dengan kehidupan semakin tersadar akan
keputusasaannya.
Kini ITS kembali terlintas di benaknya. Ia
pelajari satu per satu persyaratan yang harus ia penuhi. Semangat nya
membara demi cita-citanya untuk bisa kuliah, yah..kini mimpinya hanyalah
kuliah bukan seorang perawat. Hatinya yang penuh kejujuran berusaha
untuk terus membohonginya hanya karena uang. Dengan sangat terpaksa
mimpinya beralih demi kesuksesannya.
Ia memang gadis yang serba
bisa. Dibenaknya tertanam keyakinan kuat bahwa apapun yang ia hadapi
semua akan menjadi kebahagiaan. Tiba-tiba suara lantang yang menggelegar
datang dari arah luar laboratorium komputer memanggil namanya. Suara
lantang dengan langkah mendekati pintu yang penuh semangat itu sangat
khas sekali. Pak Bowo seorang guru Bahasa Indonesia yang begitu
menyayanginya. Beliau sering disebut dengan guru teladan yang baik hati.
Siti segera berlari mendekati pintu dan menemuinya. Mereka duduk berdua disebuah pagar ruangan tadi.
“Ada apa pak?” Tanya Siti dengan suara akrab dan semangat.
“Sit,
bidik misi itu nggak cuma di ITS. Kemarin saya cari-cari ternyata di
semua perguruan tinggi negeri itu ada. Kamu coba aja buka webnya Undip,
apa UNY yang lebih deket dari pada kamu daftar di ITS. Sebenarnya saya
itu nggak setuju kamu mau daftar di ITS. ITS tu jauh, nanti kamu malah
kesulitan pulang.” Jelas pak Bowo yang sangat mengerti perasaan Siti.
Setelah
berbincang-bincang cukup lama Siti merasa lebih lega bahwa ternyata
masih ada kesempatan yang lebih dekat dari pada ITS. Tanpa menghabiskan
waktu, ia kembali duduk di depan layar yang membawanya ke dunia maya.
Ia buka web UNY dan menelusuri nya. Ternyata terlambat, Bidik misi dan
beasiswa lainnya tak membuka kesempatan baginya. Penyesalan tak
mengetahui lebih awal ada padanya. Namun ia berusaha kembali membuka web
Undip dan universitas negeri lainnya. Dan akhirnya satu-satunya
perguruan tinggi yang masih memberikan kesempatan baginya adalah Undip.
Tanpa
berpikir panjang ia langsung membaca lebih rinci apa itu bidik misi dan
bagaimana mendapatkannya. Sedikit demi sedikit ia dapatkan informasi
lengkap dan jelas. Bidik misi yang dipergunakan untuk calon mahasiswa
tidak mampu namun berprestasi. Beasiswa ini diberikan 5juta persemester
dengan rincian 500 atau 700 ribu untuk biaya hidup dan sisanya
dipergunakan untuk biaya pendidikan selama delapan semester.
Di
kemudian hari serangkaian berkas persyaratan siap dikirimkan ke
universitas Diponegoro dengan bantuan bu Retno yang juga sangat
menyayanginya. Kini ia benar-benar mantap akan diterima. Undip
memberikan kesempatan dan mengembalikannya pada cita-cita mulianya.
Prodi perawat menjadi pilahan pertamanya dan statistika menjadi pilihan
ke duanya.
Tak terasa waktu semakin dekat dengan Ujian. Setiap
hari Siti bersama teman-temannya menghabiskan waktunya dengan belajar
bersama tanpa meninggalkan dagangnya disetiap hari minggu yang
sebenarnya telah diliburkan bagi siti oleh keluarganya. Sesekali
terlintas dipikirannya akan penantian pengumuman bidik misi yang
membuatnya selalu was-was, melihat teman-temannya yang telah bergembira
dan tenang karena kampus yang mereka tuju telah membuka pintu lebar bagi
mereka.
Kini tiba waktu yang di tunggu-tunggu. Para siswa
disibukkan dengan kertas yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan.
Suasana tenang dan penuh keseriusan membuat kelas seperti tak
berpenghuni. Satu persatu, pertanyaan demi pertanyaan mereka lewati. Ini
bukan lah mimpi. Ujian Nasional yang mereka nanti telah ada dihadapan
mereka.
Setelah mereka lalui berbagai macam ujian baik nasional
maupun sekolah dan praktik, mereka memiliki waktu dua minggu menanti
hasil perjuangan mereka. Seperti biasa Siti menghabiskan waktunya
berdagang mencari uang membantu kedua orang tuanya tercinta untuk
mencukupi kebutuhan mereka yang semakin meningkat.
Tibalah hari
yang menegangkan. Burung-burung seraya beterbangan mengepakkan
sayap-sayap indahnya membangkitkan pohon-pohon merentangkan
tangan-tangannya dan ikut melambaikan memanggil angin tuk menghembuskan
awan-awan putih menyaksikan kerumunan putih abu-abu satu-persatu membuka
amplop masa depan.
“Lulus...!!!!!!!!!!!! Alhamdulillah........aku
lulus!!!!!!!!”, seketika juga teriakan Siti menggemparkan seisi dunia.
Belajar dan doa sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang optimal
dan membanggakan. Nilainya dengan rata-rata 9,25 benar-benar sangat
memuaskan!
Ujian telah usai, hasil telah menenangkan jiwanya, kini
saatnya memikirkan rencana yang telah ia mulai. Ia kembali membuka dan
mencari jawaban akan bidik misi undip. Kedua matanya menjelajahi baris
demi baris. Bibirnya yang mungil mencoba menerjemahkan setiap apa yang
ia lihat. Kebingungan hadir padanya. Pengumuman tak kunjung datang.
Pengumuman akan di berikan setelah pengumuman SNMPTN, kalimat itulah
yang muncul dalam layar pengumuman bidik misi. Lagi-lagi ia gerakkan
mouse menuju link bidik misi undip. Setelah ia baca dan cermati ternyata
Undip lain dari yang lain. Sebuah persyaratan yang baru saja ia pahami
harus ia penuhi.
Satu-satunya yang masih memberikan peluang
untuknya adalah SNMPTN. Yah… ia harus mengikuti seleksi masuk yang ada
pada Undip. Dan SNMPTN lah yang masih membuka waktu untuknya karena UM I
dan PSSB telah terlewatkan dan UM II mustahil untuk ia ikuti karena
sumbangannya yang akan merepotkannya nanti.
Siti segera berlari
menemui pak Bowo dan meminta penjelasan dari nya. Kaki nya yang tak
begitu panjang ia gerakkan secepat mungkin untuk menghantarkan nya pada
Beliau. Hatinya yang berdebar-debar setelah menghabiskan kecepatan
60km/jam itu mencoba untuk tenang dan menjelaskan pada pak Bowo.
Keberuntungan
berpihak padanya. Masih ada waktu 1bulan lagi untuk mendaftar. Seperti
biasa di perbaringan malamnya di atas kasur kapuk beralaskan tikar hijau
tanpa penyangga, sebelum kedua matanya terpejam ia habiskan
waktu-waktunya untuk merenenungi apa yang harus ia lakukan untuk meraih
masa depan cerahnya. Kini setelah berbagai macam ia lalui teringat akan
SNMPTN yang baru saja ia perbincangkan dengan gurunya siang tadi. Ia
mencoba memikirkan segala cara untuk bisa mengikuti seleksi dengan biaya
yang cukup besar baginya.
Keesokannya ia kembali menggunakan
waktu liburannya bersama bapaknya di dalam keramain penumpang. Meski hal
itu memberikan hasil baginya namun tak sedikitpun terlintas dalam
hatinya untuk mencoba meminta sedikit bagian untuk mengikuti tes
seleksinya. Melihat kondisi keluarganya yang masih sangat kekurangan ia
tidak ingin keinginannya menjadikan beban keluarganya.
Tiba-tiba
saja terlintas dalam pikirannya sebuah ide yang mungkin akan membawanya
dalam mimpinya. Sesegera mungkin ia rundingkan bersama keluarganya akan
rencananya. Awalnya tak ada yang berpihak padanya. Memang hal ini akan
membuat nya tak bisa lagi membantu mereka meski hanya untuk beberapa
waktu. Namun akhirnya melalui pemikiran panjang mereka memberikan ijin
padanya.
Esok nya ia langkahkan kaki dengan membawa beberapa
berkas yang diperlukan. Berjalan mengelilingi kota tanpa lelah. Kesana
kemari ia coba untuk memberanikan diri bertanya dan memohon. Toko demi
toko, warung demi warung, tempat demi tempat ia telusuri, tak satupun
surat lamaran yang diterima. Keringatnya telah membanjiri tubuhnya,
wajah lesu menampampakkan kelelahannya. Karena mega telah kunjung datang
ia pun memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya esok hari.
Semangat
yang selalu memotifasinya memberikan langkah keyakinan. Ia kembali
mencoba berharap pekerjaan juga menantinya. Saat langkah tajam membara
di depannya muncul wajah tak asing bagi nya. Rupanya dia adalah temannya
yang merupakan mantan kakak kelas SMA nya.
Ari yang kini bekerja
disebuah toko buku dan sedang menikmati liburannya menyambut Siti.
Mereka duduk berdua sambil minum es teh dipinggir jalan tepat di mana
mereka bertemu. Sambil melepas lelah mereka berbincang-bincang kembali
menuaikan keakraban yang cukup lama menghilang. Siti menceritakan
tujuannya hingga tak sengaja bertemu dengan mantan kakak kelasnya itu.
“Aku
mau cari kerjaan mas, tapi dari kemarin nggak ada yang mau nerima kalau
Cuma untuk beberapa hari saja kerjanya.”, cerita Siti.
“O...begitu.
Mang kenapa kok cuma beberapa hari doang kerjanya?Eh kamu bukannya
masih sekolah?Dah pengumumankan?gimana hasilnya?” Tanya ari.
“Iya, alhamdulillah lulus memuaskan mas..! Aku Cuma butuh beberapa hari aja buat ngisi liburan aku sambil nunggu ijazah dateng.”
“Oh..kebetulan
sekali, kalo begitu kamu ikut pameran buku aja. Toko ku minggu depan
bakal ngadain pameran buku di Gedung Wanita Purworejo, dan aku disuruh
mencarikan orang buat jadi kerja disana, kamu ikut aja. Syarat nya
gampang kok, Cuma pake surat lamaran kerja, foto kopi KTP dan Nilai
raport untuk yang masih sekolah.” Terang Ari yang membuat hati Siti
cukup tenang.
“ Yang bener Mas...? Ya ampun Alhamdulillah akhirnya
ada kesempatan juga, tapi aku nggak punya KTP Mas...?” Wajahnya yang
gembira kembali bingung.
“ Tenang aja bisa pake kartu identitas OSIS kok..” Jawa Ari dengan senyum memberikan semangat pada Siti.
Tanpa
basa basi Siti segera mengajak Ari untuk menemaninya menemui pak Coyo.
Langkah cepat mereka menghantarkan mereka dihadapan pak Coyo yang memang
rumahnya tak jauh dari peristirahatan mereka. Dengan penuh rasa hormat
dan sopan Ari menceritakan dan membantu Siti untuk dapat bekerja di
pameran tersebut.
Kebaikan hatinya membuat Siti langsung diterima
hanya dengan memberikan berkas-berkas yang diperlukan seperti yang telah
dijelaskan oleh Ari tadi, yah meskipun raportnya belum bisa ia
berikan.
Sesuai dengan kesepakatan satu minggu kemudian Siti
langsung bisa bekerja. Dari pagi jam 08.00 hingga jam 09.00 malam Siti
mengawasi buku-buku penerbit Gramedia dari para pengunjung. Tidak hanya
itu, Siti juga menjadi kasir jika giliran menantinya. Pameran itu penuh
dengan berbagai macam judul, jenis, pengarang dan penerbit buku. Baru
kali ini Ia memegang uang berjuta-juta. Setiap usai pameran tutup hingga
jam 10.00 malam bahkan lebih ia bersama karyawan lainnya menghitung
uang, membereskan tempat dan evaluasi kegiatan selama 1harinya.
Karena
kebaikan bos nya, Siti diberikan fasilitas makan dan menginap dirumah
nya yang tidak jauh dari tempat pameran itu. Hal ini memang membuat Siti
berpisah dengan keluarganya dan tidak bisa membantu berdagang lagi,
namun ini hanya sementara pikirnya. Memang sangat lelah bekerja
seharian, namun ia tetap bersemangat dalam bekerja demi mimpi yang ingin
diraihnya.
Enam hari telah berlalu. Pameran telah usai, dibukanya
amplop kecil yang bertuliskan “Siti”. Seratus delapan puluh ribu, itu
lah yang ada di amplop kecil itu. Hasil kerja Siti selama enam hari
menjadi seorang penjaga dan kasir pameran buku.
Hari kemudian ia
gunakan uang hasil gajinya untuk membayar pendaftaran snmptn sebanyak Rp
150.000,00, dan sisanya ia gunakan untuk membeli buku pedoman dan soal
snmptn. Ia ketik prodi sesuai dengan prodi yang ia tuliskan di
pendaftaran bidik misi, ia penuhi segala persyaratan yang harus
dilengkapi.
Setiap hari tanpa lari dari tugasnya berdagang ia
sempatkan waktu untuk mempelajari buku yang telah dibelinya setiap
malam. Ia juga menambahkan waktu dagangnya hingga larut malam untuk
bekal mengikuti tes itu di Semarang.
16 juni 2010 hari ini Siti
telah berada di Semarang menghadapi berlembar-lembar pertanyaan. Duduk
di bangku paling depan tepat berhadapan dengan empat pengawas sekaligus.
Benar-benar membuatnya pusing, pertanyaan yang begitu banyak hanya
diberikan waktu 1jam dan dihadapkan dengan para pengawas yang tidak bisa
diam. Mulutnya mengoceh satu sama lain hingga membuat pikirannya
semakin berputar. Untung saja Siti adalah anak yang cerdas, jadi semua
bisa teratasi dengan baik.
Dua hari telah berlalu. Keberadaannya
di semarang dengan bekal yang pas dari hasil jerih payahnya dan tugasnya
yang ia selesaikan dengan baik membuatnya puas dan penuh harapan kan
diterima.
Setiap hari ia berdoa, sholat lima waktu yang tak pernah
ia tinggalkan ditambah dengan sholat sunnah tahajud dan dhuha
memberikan kekuatan padanya. Sangat lega perasaan yang ada padanya.
Perjuangan dan usaha yang akhirnya terlaksana. Kini kembali menanti
hasil usahanya yang penuh dengan tekat berharap semuanya akan terwujud.
“Bapak,
Ibu, Adik, doain siti ya... Alhamdulillah Siti dah lulus SMA, dah
ngejalanin tes snmptn. Ini semua berkat restu dan doa kalian, Siti
sangat berterimakasih.” Ucap Siti di tengah-tengah keluarganya yang
sedang berkumpul di ruang tamu malam itu.
“Iya nak, maafin
orangtua mu ini yang nggak bisa apa-apa. Kita cuma bisa berdoa buat
kamu. Semoga kamu berhasil.” Jawab ibunya sambil merangkul membelai bahu
Siti.
“Bapak ibu tenang aja..Insya Allah Siti diterima di Bidik
Misi itu. Jadi bapak sama ibu nggak perlu kawatir soal biaya Siti nanti.
Semuanya pasti ada jalan.”
Seiring berjalannya waktu, hari semakin dekat dengan pengumuman hasil seleksi snmptn.
“Pak
besok pagi Siti pengumuman, Siti minta uangnya ya buat ngenet liat
pengumuman. Siti nggak punya uang pak...” Sambil menunggu bus yang
datang Siti mencoba merayu di sela-sela pekerjaan mereka.
“Butuh berapa?” Tanya sang bapak.
“Paling lima ribu pak..ada kan pak?”
“Iya ada, ya udah besok bapak kasih.” Jawab pak Ramli.
Hari
telah larut malam, mereka pun pulang dengan dagangan yang laris tanpa
sisa. Siti duduk manis meluruskan kedua kakinya yang lelah di atas
kasurnya. Pikirannya tak tenang membayangkan apa yang akan terjadi esok
hari.
“Cuit..cuit..cuit...cuit.....” Kicauan burung membangunkan
tidur lelapnya. Siti segera beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Jendela yang ia tuju. Nampak cahaya putih masuk melalui celah-celah
lubang jendelanya. Perasaannya seketika terkejut dan dibukanya jendela
kayu itu. Ternyata benar, hari telah siang jam pun juga telah
menunjukkan tepat diangka sembilan. Tidurnya seusai subuh membuatnya
benar-benar kesiangan.
Ia segera bergegas mandi dan melangkahkan
kakinya menuju warnet tanpa sarapan sambil membawa doa dari kedua orang
tuanya. Tak sabar lagi ia menunggu jawaban.
“Mbak nomer berapa?”
Tanya Siti yang dengan cepat sampai di warnet dan menanyakan komputer
nomor berapakah yang dapat ia gunakan.
“ 34 mbak “, jawab penjaga
warnet itu. Nampaknya kali ini warnet telah di penuhi berpuluh-puluh
orang yang juga melihat pengumuman. Dinyalakannya komputer 34 ia
ketikkan
www.snmptn.ac.id.
Ia masukkan nomor peserrtanya. Benar-benar menakjubkan. Tanpa ia sadari
ia keluar dari bilik itu dan bersujud dengan sangat gembira. Air
matanya mengalir menyambut kebahagiaannya seraya menucap “Alhamdulillah
ya Allah....”. Ilmu Keperawatan S1 Undip yang menjadi mimpinya
terkabulkan.
Hari yang sangat menggembirakan. Kini ia mencoba
kembali mencari informasi lebih lanjut mengenai registrasi selanjutnya.
Ia juga tak lupa menelusuri web bidik misi undip yang juga sangat ia
nanti-nanti hasilnya. Pengumuman bidik misi nya belum juga kunjung
datang. Namun dihalaman itu tertulis kan pengumuman bidik misi akan
diberikan setelah pengumuman snmptn di karenakan yang berhak menerima
beasiswa bidik misi adalah calon mahasiswa yang telah diterima melalui
seleksi masuk undip. Kalimat ini membuatnya bingung. Akan kah benar ia
akan benar-benar mendapatkan beasiswa itu? Ia hanya bisa berharap
harapannya terwujud kembali.
Kemudian ia buka dan ia pelajari apa
saja yang harus ia penuhi untuk melakukan registrasi snmptn undip.
Kembali ia dibingungkan dengan beberapa tulisan yang ada di layarnya. Ia
membutuhkan uang Rp 3.990.000,00 untuk bisa registrasi. Jika ia tidak
memenuhi nya semua perjuangan nya gagaal dan sia-sia.
Ia hanya
memnbutuhkan waktu kurang dari sati bulan, tepatnya hanya 14 hari.
Sepanjang perjalanan pulangnya ia hanya melamun memikirkan apa yang
harus ia lakukan untuk mencari uang sebesar itu. Orang tuanya, itu tidak
mungkin! Uang dari mana mereka pikirnya? Lagi pula ia juga tidak mau
membuat kebahagiaan kedua orang tuanya berubah menjadi penyesalan hanya
karena uang. Dan ia juga telah berjanji tidak akan menyusahkan mereka.
“Ya
Allah, apa yang harus aku lakukan. Kemana aku harus mencari uang
sebanyak itu hanya dengan waktu 14hari? Beri kan aku jalan ya
Allah..Engkau telah melancarkan segala perjuangan ku, artinya ini memang
yang Engkau inginkan, Engkau telah mengijinkan ku kuliah, aku mohon ya
Allah beri aku jalan untuk mendapatkan uang secepatnya.” Batinnya terus
berbicara dan berdoa dengan penuh rasa takut dan sedih.
Sesampainya
di rumah ia ceritakan segalanya apa yang ia dapat hari ini.
Menyakitkan, tak ada satu pun ekspresi kebahagiaan yang muncul dari
wajah mereka. Kedua orangtuanya sama sekali tak memperhatikan ceritanya.
Ibu dan bapaknya terus menyibukkan diri tanpa henti membungkusi lumpia
dan arem-arem pesanan tetangga sebelah.
“Bu, pak...gimana ini? Siti mau bayar pake apa?” Tanya Siti berharap mereka menjawab pertanyaannya.
“Katanya
dapet beasiswa? Ibu sama bapak kan udah bilang nggak bisa bantu uang
buat kuliah.” Jawab ibu siti tanpa menoleh memandang siti.
“Siti
percaya siti bakal dapet beasiswa itu, tapi semuanya pasti butuh
pengorbanan dulu. Nggak ada yang semuanya serba gratis di awal. Pasti
butuh uang dulu buat mendapatkan apa yang kita inginkan Bu...” Jelas
siti dengan perasaan yang kacau balau.
Seperti perahu yang
berlayar tanpa layar. Sendiri menyeberangi lautan menuju dermaga
kebahagiaan. Hanya angin yang senantiasa bersama menghantarkannya.
Hatinya terus menerus tak henti memikirkan cara mendapatkan uang sebesar
itu. Ada sedikit terlintas apa yang harus ia lakukan. Namun semuanya
tak memberikan hasil. Ia seakan pasrah menghadapinya. Hanya bisa berdoa
yang ia lakukan. Jajanan yang senantiasa di kedua tangannya sepanjang
hari itu seakan ikut memberikan doa untuknya.
Hari kian dekat
dengan hari terakhir pendaftaran. Tiga hari lagi semua akan terjawab.
Sempat terbayangkan semua gagal dan tak terwujud. Ia hanya bisa membantu
kedua orang tuanya berjualan atau bekerja mencari pekerjaan yang lebih
layak. Mungkin ini yang akan terjadi. Namun meskipun hal itu yang akan
terjadi, sejarah perjuangan hidupnya semasa SMA nya itu tak akan sirna
dan akan terus menjadi sejarah kebanggaan.
“Sit sini... Bapak sama
ibu mau bicara”, Panggil ibunya kepada siti yang sedang duduk termenung
menatap langit malam di depan pintu yang terbuka lebar.
Siti mendekat menghampiri kedua orangtuanya duduk di ruang tamu yang kecil sederhana itu.”Ada apa pak, bu?”
“Gini
nak, besok kamu pergi sama pek lek mu Edi ke Bank. Terus kamu siapin
apa aja yang perlu buat bayar regiatrasi itu.” Jawab bapaknya tanpa
basa-basi.
“Ke Bank? Nyiapin buat pembayaran? Maksudnya pak?” Siti heran dan semakin bingung mendengar jawaban bapaknya.
“Iya,
tadi mbak mu yang di Bandung Teh Rini dah nransfer uang 4juta minjemin
kamu buat bayar masuk kuliah mu itu”, jelas sang ibu dengan senyum yang
meyakinkan Siti.
“Yang bener bu?” Tanya Siti meyakinkan penjelasan kedua orang tuanya.
“Iya..........!!!!!!!!” Jawab mereka berdua dengan semangat dan senyuman hangat.
“Alhamdulillah....
Trimakaih Pak, Bu... Siti bangga sama bapak dan ibu. Siti janji Siti
yang akan ngembaliin uang teh Rini dengan beasiswa Bidik Misi itu Pak,
Bu...! Terimakasih ya Allah..........!!” Siti memeluk kedua orang tuanya
dan tangis bahagia pun menyelimuti mereka.
Tak Ada yang Mustahil Jika Kita Mau Berusaha